Selasa, 20 April 2010

Depresi, Pintu Masuk Berbagai Penyakit ??

DEPRESI merupakan gangguan mental yang sering terjadi di tengah masyarakat. Berawal dari stres yang tidak diatasi, maka seseorang bisa jatuh ke fase depresi. Penyakit ini kerap diabaikan karena dianggap bisa hilang sendiri tanpa pengobatan.
Padahal, depresi yang tidak diterapi dengan baik bisa berakhir dengan bunuh diri. Secara global lima puluh persen dari penderita depresi berpikiran untuk bunuh diri, tetapi yang akhirnya mengakhiri hidupnya ada lima belas persen. Selain itu, depresi yang berat juga menimbulkan munculnya berbagai penyakit fisik, seperti gangguan pencernaan (gastritis), asma, gangguan pada pembuluh darah (kardiovaskular), serta menurunkan produktivitas. Sejak depresi sering didiagnosis, WHO memperkirakan depresi akan menjadi penyebab utama masalah penyakit dunia pada tahun 2020. Wartawan Pembaruan Nancy Nainggolan menuliskan laporan mengenai depresi.

Pembaruan/Adi Marsiela
DOA BERSAMA - Ratusan warga Desa Adat Serongga Kelod, Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar, melakukan doa bersama. Salah satu upaya menghindari depresi adalah mendalami ajaran agama yang berperan menimbulkan rasa damai.

ORGANISASI Kesehatan Dunia (WHO) mencatat depresi adalah gangguan mental yang umum terjadi di antara populasi. Diperkirakan 121 juta manusia di muka bumi ini menderita depresi. Dari jumlah itu 5,8 persen laki-laki dan 9,5 persen perempuan, dan hanya sekitar 30 persen penderita depresi yang benar-benar mendapatkan pengobatan yang cukup, sekalipun telah tersedia teknologi pengobatan depresi yang efektif. Ironisnya, mereka yang menderita depresi berada dalam usia produktif, yakni cenderung terjadi pada usia kurang dari 45 tahun. Tidaklah mengherankan, bila diperkirakan 60 persen dari seluruh kejadian bunuh diri terkait dengan depresi (termasuk skizofrenia).

Bisa Disembuhkan
Depresi, kata Ketua Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dr Irmansyah SpKJ, bisa disembuhkan sehingga semestinya tindakan bunuh diri bisa dicegah. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang jatuh dalam depresi. Beragam faktor itu ada yang berasal dari dalam diri sendiri (endogen), seperti hormon, bahan kimia otak yang dikenal dengan neurotransmiter, genetik, dan faktor lingkungan (tekanan kehidupan). Faktor-faktor itu bisa terjadi bersamaan, tetapi bisa juga sendiri-sendiri.

Pada depresi, tekanan kehidupan atau stres ibarat patogen (kuman penyebab penyakit) pada penyakit fisik. Dengan kondisi Indonesia seperti saat ini yang diwarnai berbagai bencana alam, harga kebutuhan naik, dan sulit memperoleh pekerjaan, boleh jadi menambah tekanan bagi masyarakat, sekalipun tidak ada data pasti tentang itu karena memang tidak ada penelitiannya. "Hanya saja dipercaya, seperti pada keadaan penyakit fisik, misalnya demam berdarah, bila kondisi membuat virus meningkat, maka kasunya pun meningkat. Siklus depresi antara lain karena masalah tekanan kehidupan. Jika tekanan hidup meningkat maka insiden depresi pun meningkat. Pada depresi, tekanan itulah yang berperan sebagai kuman atau virus," ucap Irmansyah.

Tetapi ada juga depresi yang datang dengan sendirinya (depresi endogen). Depresi semacam ini disebabkan faktor biologi, seperti hormon dan neurotransmiter. Seperti diketahui otak merupakan pusat perasaan, emosi, dan pikiran. Bila ada gangguan neurotransmiter otak bisa menyebabkan seseorang kehilangan mood sehingga timbul depresi.

Dari sisi genetik, orang yang mempunyai bakat depresi akan lebih gampang menderita depresi bila ada stimulus. Jika faktor lingkungan muncul, misalnya, stres, kehilangan orang yang disayangi, penyalahgunaan obat, penyakit fisik (kronis), kehilangan pekerjaan, dan latar belakang sosial yang buruk, maka depresi lebih mudah muncul pada orang yang memiliki bakat depresi.

Menurut Irmansyah, risiko seseorang menderita depresi semakin besar bila kedua orangtuanya menderita depresi, dibandingkan bila orangtua tidak menderita depresi. Survei pada orang yang mengalami depresi memperlihatkan bahwa anak-anak yang berasal dari orangtua yang menderita depresi sangat berisiko tinggi menderita depresi. Besarnya risiko berkisar 50 persen sampai 75 persen. Oleh karena itu, deteksi dini pada anak sangat diperlukan.

"Daya tahan atau kerentanan seseorang yang tidak cukup terlatih mengelola perasaan akan membuat seseorang lebih mudah mengalami depresi. Seseorang dengan daya tahan tinggi kurang memiliki risiko untuk menderita depresi. Yang pasti tekanan itu berbeda di setiap tempat. Di lokasi bencana, seperti beberapa tempat di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), masyarakat di sana mengalami pengalaman traumatis sehingga lebih berisiko menderita depresi dibanding di perkotaan, seperti Jakarta, yang tekanan kehidupannya relatif tetap," jelas Irmansyah.

ANTARA/Maha Eka Swasta

BERISIKO - Dua bocah pengungsi dengan riang bermain ayunan di tempat pengungsian di Lhoknga, NAD. Anak-anak yang berasal dari orangtua yang menderita depresi sangat berisiko menderita depresi.

Daya Tahan Tubuh
Dijelaskan, semua kelompok usia rentan depresi. Pada anak-anak, depresi itu berwujud dalam perubahan sikap. Misalnya, gangguan perilaku, mudah marah, emosional, kesulitan bergaul dengan teman, gangguan dalam pelajaran, dan menolak makan.

Dari sisi jenis kelamin, perempuan lebih banyak menderita depresi dibanding laki-laki. Hal ini antara lain disebabkan fluktuasi hormon yang lebih nyata pada perempuan. Bila mengalami tekanan, umumnya laki-laki lebih banyak memiliki upaya sendiri untuk mengatasi tekanan itu, seperti beraktivitas di luar, mengonsumsi minuman beralkohol. Sedangkan perempuan yang depresi cenderung lebih banyak berdiam di rumah.

Depresi juga bisa dipicu oleh pemakaian obat-obatan, seperti streoid, obat yang mengandung hormon, dan juga bisa disebabkan penyalahgunaan obat-obatan.

Irmansyah menjelaskan, cukup mudah mengenali seseorang menderita depresi. Penyakit ini bisa tampak dari gejala gangguan mood berupa rasa kehilangan, rasa gagal, rasa tidak berguna, tidak mempunyai harapan, putus asa, penyesalan, serta tidak semangat bekerja. Selain itu, depresi membuat daya tahan tubuh menurun. Akibatnya, berbagai jenis penyakit pun muncul. Penyakit fisik yang sering dialami penderita depresi adalah gangguan pencernaan, gangguan pembuluh darah, asma, dan konstipasi (sembelit). Oleh karena itu, penderita depresi kerap mengalami keluhan fisik, seperti rasa mual dan malas makan. "Kalau sudah komplikasi maka penyakit yang menyertai depresi juga harus diatasi, demikian juga dengan depresinya. Selain dari gejala, untuk memastikan diagnosis dan terapi, penderita depresi perlu memeriksakan diri ke psikiater," katanya.

Dikatakan, tidak semua depresi harus diobati karena ada depresi yang sembuh tanpa diterapi. Artinya, depresi hilang seiring dengan perjalanan waktu. Ini terjadi bila depresi masih dalam batas wajar. Tetapi ada juga depresi yang tidak bisa sembuh sendiri. Bahkan, memerlukan waktu bertahun-tahun untuk proses penyembuhan.

Terapi depresi terdiri dari konseling, psikoterapi dan terapi farmakologi (dengan pemakain obat antidepresan), dukungan kelompok, serta terapi kognitif. Terkadang, para penderita depresi memerlukan rawat inap di rumah sakit. Rawat inap dilakukan pada pasien yang kurang mendapat dukungan dari lingkungan, sekalipun derajat depresi yang dialaminya tergolong ringan.

Selain itu, kepatuhan menggunakan obat antidepresan juga menjadi pertimbangan seorang penderita depresi menjalani rawat inap di rumah sakit. Jadi, rawat inap tidak hanya berlaku pada penderita depresi berat. Sama dengan penyakit lain, depresi juga bisa kambuh. Agar tidak mengalami depresi, Irmansyah menyarankan setiap orang memperkuat daya tahan mental, melatih diri agar bisa fleksibel, memiliki fisik yang sehat, serta mendalami ajaran agama yang berperan menimbulkan rasa damai. *

Sumber:
http://www.suarapembaruan.com/News/2006/02/08/index.html

0 komentar:

Posting Komentar